Oleh : Drs. Muhamad Akli, M.Pd.I
Sesungguhnya orang-orang yang menukar
janjinya dengan Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit,
mereka itu tidak mendapat bahagian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan
berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari
kiamat dan tidak (pula) akan mensucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih.
( QS Ali Imran : 77 )
Ayat Al Quran ini mengingatkan akan makna sumpah yang
diucapkan. Salah satunya pada prosesi pelantikan pejabat atau pemimpin, baik
dalam skala mikro maupun makro. Dengan mengangkat kitab suci di atas kepala
yang disaksikan manusia, malaikat, dan Allah SWT.
Pelantikan terhadap pejabat atau pemimpin sebagai
bentuk legalisasi kewenangan atau kekuasaan untuk melakukan kebijakan maupun
mengesahkan sebuah keputusan. Pelantikan yang dilakukan mengandung
konsekuensi pahala dan dosa, ada misi mulia dengan janji-janji pada
rakyat. Implementasi yang benar akan membuahkan pahala dan sebaliknya
pengingkaran ikrar akan mendapatkan azab Allah SWT.
Logis, ada rasa bangga dan terhormat tetapi jika
rasa bangga dan terhormat itu tanpa diimbangi nurani penghayatan dapat
menyebabkan lalai terhadap amanah besar yang diemban guna kepentingan
rakyat dan menyejahterakannya. Apalagi rasa bangga dan terhormat
dirayakan dengan pesta seolah mendapat kemenangan. Padahal hakikatnya sebuah
tantangan. Mestinya, mengajak rakyat untuk mengenang jasa para pejuang dan pendiri
bangsa yang dengan susah payah memerdekakan dan membangun negeri ini. Warisan
masa lalu yang baik dan pro rakyat harus diteruskan. Artinya, tidak membabat
habis hanya karena ingin memunculkan idealisme.
Khawatir, apabila rasa bangga dan terhormat
ini menyatu dengan “ Aji mumpung “ mumpung berkuasa, mumpung punya kesempatan,
dan segala macam mumpung yang menyebabkan lupa pada amanah yang wajib
dilaksanakan.
Belajar dari sejarah, ketika Muhammad SAW dilantik oleh
Allah SWT melalui perantaraan Jibril as di Gua Hira, dengan lantang Jibril as
berkata “ Iqra Ya Muhammad “ hingga tiga kali, lalu Muhammad SAW mungucapkannya
dengan lancar dan fasih. Setelah itu, Muhammad SAW pulang ke rumah dengan tubuh
gemetar dan minta diselimuti isteri tercinta, Siti Khadijah. Indikasi ini
menunjukkan bahwa amanah besar dan berat menghadang beliau untuk meluruskan
akidah dan syariah umat manusia untuk taat kepada Allah SWT dan Rasulnya. Sebab
tidak cukup hanya dengan perkataan dan pencitraan saja tetapi sikap, tindakkan,
dan perbuatan mesti menjadi teladan.
Demikian pula yang terjadi pada Abu Bakar Shiddiq
ketika dilantik menjadi khalifah, beliau berkata: “ Wahai manusia,
sesungguhnya aku telah memerintah kalian dan aku bukanlah yang terbaik diantara
kamu. Seandainya berbuat kebaikan, ikutilah aku dan apabila aku berbuat
keburukan, maka luruskanlah “.
Umar bin Abdul Aziz, seorang pemimpin
negara yang temasyhur dengan kearifannya, sehari setelah beliau dilantik
menjadi khalifah, pergilah beliau ke masjid untuk beritikaf, merenung diri dan
nampak wajah beliau berlinang air mata antara harap dan cemas dengan suara
lirih dan pelan berkata “ Innalillahi wa inna ilaihi rajiun “.
Ucapan Umar yang sarat makna tentang arti sebuah pelantikan. Beratnya amanah
yang mesti dilaksanakan untuk kesejahteraan rakyat, penegakkan hukum demi
keadilan, ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan lain lain akan menjadi aneka
persoalan yang memerlukan kearifan dalam menentukan langkah-langkah kebijakan
ke depan.
Tidak heran, jika Ali bin Abi Thalib ketika
dilantik menjadi khalifah mengajak seluruh sahabatnya yang membantu jalannya
roda pemerintahan berziarah ke kuburan untuk mengingatkan bahwa tidak ada
jabatan dan kekuasaan yang langgeng karena suatu saat kematian pasti akan
datang. Jabatan dan kekuasaan akan berakhir dan dipertanggung jawabkan baik
dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat kelak.
Konsep inilah yang akan melahirkan seorang
pemimpin dengan tingkat kesadaran yang tinggi dan kematangan diri dalam semua
sisi. Pertama, tawadhu, rendah hati dalam menjalankan amanah
rakyat dan berani mengatakan “ Aku bukanlah yang terbaik diantara kalian “.
Kedua,
loyalitas dalam menjalankan amanah dan agenda kepemimpinan serta berusaha
maksimal mencari solusi yang terbaik dengan meninggalkan korupsi, kolusi, dan
nepotisme serta berani mengatakan “ Seandainya aku berbuat kebaikan maka
ikutilah aku dan sebaliknya jika berbuat keburukan tegakkan hukum atas diriku“.
Ketiga,
kesediaan menerima dengan lapang dada aneka kritik yang membangun maupun kritik
yang memojokkan kepribadian, meniadakan otoritas penuh terhadap individu dan
kelompok.
Pelantikan
dengan penghayatan yang menyentuh nurani dan kesungguhan akan membentuk pribadi
yang sadar akan amanah dan tanggung jawab sehingga hampir tidak ada celah untuk
berbuat ingkar terhadap ikrar yang telah diucapkan.
Pelantikan bukan simbol kekuasaan tapi amanah dengan ikrar yang
diucapkan. Apakah dengan pelantikan mampu melahirkan pejabat atau
pemimpin yang dapat membawa angin segar dan perubahan ke arah yang lebih
baik menuju pada kesejahteran dan keadilan bagi rakyat? Kita tunggu
apakah pemimpin terpilih mampu memenuhi harapan rakyat.
Posting Komentar