ISLAM DI KALIMANTAN SELATAN (Sejarah Masuknya Islam dan Perkembangannya )

ISLAM   DI  KALIMANTAN   SELATAN
(Sejarah Masuknya Islam dan Perkembangannya  )

A.      Pendahuluan
                 Dalam studi tentang Islam di Kalimantan Selatan (Sejarah masuk dan Perkembangannya) terdapat persoalan-persoalan yang mendasari kajian makalah ini, yaitu meliputi sejarah masuknya Islam di Kalimantan Selatan dan bagaimana perkembangannya? Bagaimana cara penyebarannya ? Dan faktor apa saja yang mempengaruhi proses perkembangannya?.


         
Dalam proses panjang perjalanan sejarah Islam di Kalimantan Selatan telah banyak kajian dan penelitian yang dilakukan oleh para peneliti, baik yang dilakukan dengan melihat langsung bukti-bukti sejarah ( prasasti ) maupun melalui bedah buku dan pertemuan ilmiah.
          Ada dua pertemuan ilmiah yang pernah dilakukan di kota Banjarmasin yang dapat memberikan arah bagi kajian dan penelitian sejarah perkembangan Islam di Kalimantan Selatan.  Pertama, Pra Seminar  Sejarah Kalimantan Selatan yang dilaksanakan pada tanggal 23 sampai dengan 25 September 1973 dan   yang kedua adalah pelaksanaan Seminar Sejarah Kalimantan Selatan yang dilaksanakan pada tanggal 8 sampai dengan 10  April 1976.
               Di samping itu, peninggalan-peninggalan sejarah umat islam, ornamen ornamen Islam maupun bukti fisik lain asjid, menggelitik inspirasi dan motivasi    kita   untuk   mengkaji   bagaimana   Islam di Kalimantan Selatan    ( Sejarah Masuk dan Perkembangannya ).   
               Hal ini menunjukkan bahwa besarnya jumlah umat Islam Kalimantan Selatan mempunyai korelasi yang signifikan dengan Islam di Kalimantan Selatan ( Sejarah Masuk dan Perkembangannya.
B.     Sejarah Masuknya Islam di Kalimantan Selatan
          Masuknya Islam ke kawasan Kalimantan Selatan melalui dua pintu. Pertama, Islam masuk melalui selat Malaka melalui transaksi dan komunikasi perdagangan. Pada fase jatuhnya Malaka ke tangan penjajah Portugis membuat dakwah semakin menyebar, karena  komunitas Islam kebanyakan mendiami pesisir Barat Kalimantan bergerak dari satu tempat
ke tempat lainnya untuk menghindari tekanan kolonial 
          Kedua,  Islam disebarkan oleh para dai  yang sengaja dikirim dari Tanah Jawa. Ekspedisi   dakwah  ke  Kalimantan  ini    menemui    puncaknya   saat Kerajaan Demak berdiri. Demak mengutus banyak mubaligh ke negeri ini. Perjalanan dakwah pula yang akhirnya melahirkan Kerajaan Islam Banjar
          Dr. Musyrifah Sunanto dalam bukunya “ Sejarah Peradaban Islam “ yang mengutip pendapat J.J. Ras. Hikayat Banjar, A study in Malay Historiography dan Taufik Abdullah,dalam bukunya Sejarah Umat Islam Indonesia menyatakan bahwa “ Islamisasi kerajaan Banjar di Kalimantan Selatan berasal dari Demak. Rajanya yang pertama, Raden Samudera, masuk Islam  dengan gelar Suryanullah atau Suryansyah. Wilayahnya meliputi Sambas, Batang lawai, Sukadana, Kotawaringin, Sampit, Medawi, dan Sambangan.
      Proses Islamisasi kerajaan banjar diwarnai dengan trik dan intriks politik berupa pergolakan dikalangan istana, perebutan kekuasaan yang menyebabkan pangeran Samudera tersingkir. Dalam perjalanannya menghimpun kekuatan untuk merebut tahtanya dengan meminta bantuan dari kerajaan Demak.   Demak bersedia membantu dengan syarat Pangeran Samudera harus memeluk Agama Islam.
           Dr. Badri Yatim dalam Bukunya “ Sejarah Peradaban Islam “ Menulis bahwa “ Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1526 M dan yang menjadi Sultan Demak ketika itu adalah Trenggano, Sultan ketiga yang berkuasa pada tahun 1521-1546 M. Ketika Suryanullah naik tahta, beberapa daerah sekitarnya telah mengakui kekuasaannya, yakni Sambas, Batang lawai, Sukadana, Kotawaringin, Sampit, Medawi, dan Sambangan.
                      Di Kalimantan Selatan terutama sejak abad ke-14 sampai awal abad ke-16 yakni sebelum terbentuknya Kerajaan Banjar yang berorientasikan Islam, telah terjadi proses pembentukan negara dalam dua fase. Fase pertama yang disebut Negara Suku (etnic state) yang diwakili oleh Negara Nan Sarunai milik orang Maanyan.
              Fase kedua adalah negara awal (early state) yang diwakili oleh Negara Dipa dan Negara Daha. Terbentuknya Negara Dipa dan Negara Daha menandai era klasik di Kalimantan Selatan.
                     Negara Daha akhirnya runtuh seiring   dengan   terjadinya  pergolakan istana,    sementara    lslam    mulai   masuk   dan   berkembang  di    samping kepercayaan lama.  Perkembangan ini  ditandai  dengan  runtuhnya kerajaan Negara   Daha  beralih  ke periode  negara  kerajaan ( kingdom state) dengan lahirnya kerajaan baru, yaitu Kerajaan Banjar pada tahun 1526 yang menjadikan Islam sebagai  dasar dan agama resmi kerajaan.
       Kerajaan Banjar terjadi  pada abad ke-17 hingga  abad  ke-18  merupakan  puncak   perkembangan  Islam  di  Kalimantan Selatan sebagaimana  ditandai oleh  lahirnya  ulama-ulama  yang t erkenal  dan hasil karya tulisnya menjadi bahan bacaan dan rujukan di berbagai negara, antara lain  Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari
         Muhammad   Arsyad  dilahirkan pada tahun1122H atau 1710 M di desa Lok Gabang,  Martapura.    Pada   waktu   berumur   kurang lebih 8  tahun ia dipungut  oleh Sultan Banjar untuk diasuh dan dididik di istana. Kemudian ia dikawinkan  dan  menjelang umur 30 tahun diberangkan belajar memperdalam ilmu agama Islam di Mekah.
         Muhammad  Arsyad   tiba  kembali  di  Martapura  ibu   kota   Kerajaan Banjar,  pada  bulan  Ramadhan tahun 1186 H  (1772 M).  Ia  kembali setelah memperoleh  keahlian  khusus dalam ilmu Tauhid, Fiqh, ilmu Falak dan ilmu Tasauf.
         Usahanya  dalam  menyebarkan  Islam  di daerah  Kerajaan Banjar pada waktu  itu  dimulai  dengan  melakukan  pengajian,  kemudian   menyebarkan anak  cucunya (muridnya) yang telah memperoleh kealiman ke daerah-daerah pedalaman,  di  samping  itu menulis kitab-kitab agama dalam bahasa Melayu dengan aksara Arab.
        Sementara itu, Muhammad Nafis, seorang tokoh ulama berusaha menyebarkan  Islam  di  wilayah  pedalaman  Kalimantan.   Dia memerankan dirinya   sebagai   ulama sufi yang khas dalam menyebarkan ajaran Allah dan Rasul-Nya  ke  daerah  pedalaman.  Dan  oleh  karena itu,  beliau memainkan peranan penting dalam mengembangkan Islam diKalimantan.
       Dengan demikian Islam masuk Kalimantan Selatan  mencapai puncaknya setelah pasukan Kesultanan Demak datang ke Banjarmasin untuk membantu Pangeran Samudra dalam perjuangannya melawan kalangan elite di Kerajaan Daha.  Setelah  kemenangannya,   Pangeran  Samudra  memeluk  Islam  pada sekitar  tahun  936 H /1526 M,   dan  diangkat   sebagai   sultan   pertama  di Kesultanan Banjar.   Dia  diberi gelar Sultan Suriansyah atau Suyanullah oleh seorang  da’i  Arab.   Dengan  berdirinya  Kesultanan  Banjar,  maka  Islam di anggap sebagai agama resmi negara.
  C. Perkembangan Agama Islam dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya
       a  .Perkembangan Islam di Kalimantan Selatan
Perkembangan Islam dalam abad ke- 17 menunjukkan kemajuan yang pesat.  Pada waktu itu seorang yang hidup dalam Kerajaan Banjar di Martapura telah menyusun sebuah kitab ilmu tasawuf tentang Asal Kejadian Nur Muhammad yang dipengaruhi ajaran Ibnu Arabi yang termasuk aliran Wahdatul wujud.  Hal ini menunjukkan bahwa dalam abad ke- 17 dalam wilayah Kerajaan Banjar sudah menunjukkan berkembangnya aliran tasawuf secara dominan sampai melahirkan seorang ulama terkemuka dibidang tersebut dan mampu mengarang sebuah kitab yang cukup berat. Kitab tasawuf itu dihadiahkan pengarangnya kepada Ratu Aceh.

H. Zafri Zamzam dalam salah satu tulisannya menyebut bahwa ulama besar itu adalah Syekh Ahmad Syamsudin Al Banjari. Dalam penelitian seorang orientalis R.O Winstedt yang menyebutkan dalam bukunya tentang Hikayat Nur Muhammad yang paling tua yang dijumpai di Jakarta ditulis tahun 1688 oleh seorang ulama Banjar yang bernama Sham al Din untuk Sultan Taj al Alam Syafiat al Din yang memerintah di Aceh. Memang dalam masa pemerintahannya Sulthanah Seri Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat puteri dari Sultan Iskandar Muda memerintah di Kerajaan Aceh pada tahun 1050-1085 H / 1641-1675, seorang Ratu yang loyal terhadap ajaran-ajaran wahdatul wujud yang berkembang di sana yang semula mendapat tekanan.
 Dengan dikirimkannya naskah Kitab tentang Asal Kejadian Nur Muhammad itu ke Kerajaan Aceh khusus untuk Ratu Aceh hal ini menunjukkan hubungan timbal-balik yang baik dengan Kerajaan Aceh. Hal ini mungkin disebabkan oleh kegiatan-kegiatan ulama Aceh seperti
Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As Sumatrani pada satu kelompok dan dari pihak penetapannya Nuruddin Ar Raniri pada pihak lainnya. Kedua Faham ini ternyata mempunyai pengaruh yang besar di dalam daerah Kerajaan Banjar. Pengaruh yang pertama dapat kita tunjukkan dengan tokoh Syekh Ahmad Syamsuddin Al Banjari dan nanti masih terlihat pada abad ke- 18 dengan tokoh Syekh Abu Hamid Abulung.  Dengan demikian dapat diperkirakan bahwa dalam masa satu abad perkembangan Islam di Kerajaan Banjar dipengaruhi ajaran Tasawuf.
b. Pengaruh Aceh
Selama abad ke-17 terlihat bahwa perkembangan agama Islam  dalam wilayah Kerajaan Banjar mendapat pengaruh dari ajaran-ajaran yang berkembang di Aceh. Dengan runtuhnya Kerajaan Demak sebagai pusat da’wah Islam semasa Wali Songo, pengaruh perkembangan Kerajaan Aceh. Kegiatan para ulama dan para juru da’wah dari Kerajaan Aceh telah merambah kemana-mana termasuk dalam wilayah Kerajaan Banjar, disamping Sumatera sendiri dan Malaysia. Kedudukan Kerajaan Aceh juga menentukan, karena Aceh merupakan terminal bagi jemaah haji yang akan berangkat ke Tanah Suci atau bagi mereka yang kembali ke tanah air.
Aceh menjadi transit pelayaran menuju Makkah, para jamaah haji atau para pelajar yang akan belajar ke Tanah Suci. Selama mereka berada di Aceh mereka mengikuti kegiatan-kegiatan yang bersifat keagamaan ataupun mengikuti pengajian-pengajian, karena itu maka perkembangan pemikiran yang berkembang di Aceh mempengaruhi mereka. Karena itulah pemikiran dari Hamzah Fansuri yang mengembalikan pada ajaran tasawuf Sunni, sampai pengaruhnya ke dalam Kerajaan Banjar.
  Berdasarkan perkembangan pemikiran keagamaan yang sudah  mendapat pengaruh Aceh, mengalami beberapa tahap perkembangan.
     a) Faham dasar keagamaan yang mewarnai pemikiran keagamaan di dalam Kerajaan Banjar adalah yang berasal dari Jawa yaitu Demak yang hanya menyangkut prinsip-prinsip dasar sesuai dengan ajaran Ahlus Sunah wal Jamaah dalam akidah dan faham Syafiiah dalam bidang hukum disertai dengan tasawuf akhlaq. Disini tidak terlihat tanda-tanda bahwa ajaran Kejawen turut masuk ke wilayah Kerajaan Banjar.
       b) Faham mistik/sufisme yang berasal dari Hamzah Fansuri sudah memasuki praktik keagamaan di dalam Kerajaan Banjar beberapa saat setelah penduduk memeluk agama Islam dan sudah ada yang berangkat ke Aceh dalam rangka menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Interaksi ini melahirkan faham Syekh Ahmad Syamsuddin Al Banjari tentang kejadian Nur Muhammad, yang menjadi dasar dari ajaran tasawuf wahdatul wujud.
            c) Berkembangnya Faham sufisme dari Hamzah Fansuri, mendapat tantangandari  Nuruddin Ar Raniri yang menentangnya juga mendapat simpati dari rakyat Kerajaan Banjar. Nuruddin Ar Raniri yang lebih menekan pada faham Sunni dan mendapat simpati masyarakat dengan titik berat pada pengembangan hukum fiqih menurut mazhab Syafei.    Kepedulian terhadap Faham Sunni dengan mazhab Syafei ini terbukti dengan dipergunakannya secara luas kitab “Sirathol Mustaqim” sebagai kitab pegangan di kalangan masyarakat dalam wilayah Kerajaan Banjar.
.       Kitab Ash Shirathol Mustaqim karangan Syekh Nurruddin Ar Raniri masih  tetap dipakai sebagai referensi dalam bidang hukum Islam walaupun banyak masyarakat Banjar yang masih sulit memahami kitab tersebut mengingat di dalamnya banyak terdapat kata-kata sulit yang diambil dari bahasa Aceh.
                           Penyebaran kitab tersebut dalam masyarakat Banjar dilakukan melalui penyalinan sedangkan naskah asli yang semula berasal dari Syekh Nuruddin Ar Raniri sudah tidak bisa ditemukan lagi, artinya tidak ada lagi orang/ulama yang masih menyimpan naskah asli dari Kitab tersebut.
                    Naskah kitab Shirathol Mustaqim yang beredar dalam masyarakat pada waktu itu berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya sebagai akibat dari perbedaan dalam penyalinan dimana ada kata-kata yang hilang dan kalimat menjadi rusak, sehingga menimbulkan kesulitan dalam memahaminya.
                    Proses penyalinan naskah Kitab Ash Shirathol Mustaqim kebanyakan dilakukan oleh orang yang kurang mengetahui masalah fiqih akibatnya penanganan hukum Islam terutama dalam rangka penyebarannya banyak dilakukan oleh orang yang bukan ahlinya lagi karena orang yang ahli sudah tidak ada lagi. Dampaknya, menurut Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari sulit mencari orang yang menguasai ilmu fiqih dalam masyarakat Kerajaan Banjar. Hal ini menunjukkan adanya kemunduran dalam perkembangan hukum Islam dibandingkan dengan masa sebelumnya.
                        Terjadinya kemunduran dalam perkembangan hukum Islam pada masa ini adalah karena kurangnya perhatian orang terhadap bidang tersebut. Hal ini mungkin disebabkan karena semakin meningkatnya perhatian orang terhadap bidang tasawuf yang dalam banyak hal sangat mengabaikan ketentuan-ketentuan hukum.
Menghadapi perkembangan hukum Islam di Kalimantan Selatan sebagaimana digambarkan di atas peranan dari Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari (Lahir 15 Safar 1122 H/19 Maret 1710 M dan wafat 6 Syawal 1227 H/13 Oktober 1812) sebagai ulama dan ahli hukum Islam di daerah ini. Melalui jasa beliau telah dilakukan pengembangan kembali hukum Islam baik melalui penulisan kitab dan risalah agama, da’wah dan pendidikan agama dan pencetakan kader yang akan mengembangkan pelaksanaan hukum-hukum Islam.
    d. Tokoh-tokoh Ulama Sufi yang Hidup di Kerajaan Banjar
  Satu hal yang menarik dalam perkembangan agama Islam dalam Kerajaan: Banjar adalah menyangkut perkembangan tasawuf sebagai dimensi mistis dari ajaran Islam yang cukup dominan mempengaruhi hidup keagamaan di daerah kerajaan ini. Tokoh-tokoh sufi itu adalah
         1.   Syekh Ahmad Syamsuddin Al Banjari

           Riwayat tokoh ulama sufi ini tidak banyak diketahui, hanya yang diketahui bahwa ulama ini adalah seorang Banjar yang tinggal di ibu kota kerajaan Martapura. Ulama inilah yang menulis tentang Asal Kejadian Nur Muhammad.  Beliau lahir sekitar tahun 1618. Ulama ini hidup pada masa pemerintahan Pangeran Tapesana (Adipati Halid) sebagai wali raja, karena putera mahkota Amirullah Bagus Kesuma belum dewasa. Pangeran Tapesana menjabat sebagai Mangkubumi kerajaan. Naskah itu ditulis pada tahun 1668 dan pernah ditemukan oleh seorang orientalis R.O. Winestedt di Jakarta.
               2.  Syekh Muhammad Nafis Bin Idris Al Banjari

    Syekh Muhammad Nafis terkenal karena karya beliau Ad Durrun Nafis sebuah kitab tasawuf. Siapa Syekh Muhammad Nafis ini, sulit diketahui siapa sebenarnya tokoh ini. Beberapa penulis sejarah berbeda pendapat diantaranya
   Amir Hasan Kiai Bondan, mengatakan bahwa Syekh Mohammad Nafis itu adalah Pangeran Haji Musa bin Pangeran Muhammad Nafis, cucu dari Ratu Anum Kusumayuda, seorang bangsawan Banjar. H. Gusti Abdul Muis mengatakan bahwa Syekh Muhammad Nafis bin Ideris bin Husein Al Banjari, dilahirkan di salah satu desa di Martapura dari keluarga bangsawan Kerajaan Banjar. Pendapat lain mengatakan bahwa Syekh Muhammad Nafis bin Ideris bin Husein Al Banjari lahir di Martapura dari keluarga Kerajaan Banjar, beliau hidup semasa dengan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari dan Syekh Abdul Hamid Abulung. Beliau memperoleh pendidikan di Makkah, dan menulis kitab Ad Durrun Nafis. Syekh Muhammad Nafis dikuburkan di Desa Binturu Kelua, tetapi sebagian mengatakan kuburnya di Lasung, Kecamatan Kusan Hulu. Syekh Muhammad Nafis mengarahkan da’wahnya di daerah Kelua dan sekitarnya pada abad ke- 18 dan 19 dan Kelua saat itu merupakan pusat penyiaran Islam di bagian utara dari Kerajaan Banjar.
               Syekh Muhammad Nafis bin Ideris bin Husein Al Banjari mendapat gelar kehormatan dengan “Maulana Al Allamah Al Fahamah al Mursyid ila Thariqis Salamah”. Beliau semasa hidup bersahabat dengan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari pengarang kitab Sabilal Muhtadin. Syekh Muhammad Nafis seorang sufi yang dalam tulisannya mengakui diri, “seorang faqir yang hina, semiskin-miskin hamba Allah”. Syekh Muhammad Nafis berusaha membersihkan diri lahir dan batinnya dengan rajin mengamalkan sekalian thariqatnya.
Syekh Muhammad Nafis diperkirakan lahir pada tahun 1160 H atau 1735 M yaitu hidup pada masa pemerintahan Kerajaan Banjar yang dijabat oleh Sultan Tamjidillah, Sultan Tahmidillah dan Sultan Suleman. Setelah memperoleh pendidikan di daerahnya dia melanjutkan pendidikan di Mekkah al Mukarramah. Ketika di Makkah ada permintaan beberapa sahabatnya untuk menulis kitab Ad Durrun Nafis pada tahun 1200 H atau 1782 M. Setelah itu beliau kembali ke Martapura dan menyampaikan dakwahnya di tengah-tengah masyarakat warga Kerajaan Banjar. Dalam aktivitas dakwahnya banyak menjalankan pengajian ke daerah terpencil yang mempunyai kedudukan strategis dalam perkembangan Islam, tetapi yang terbanyak waktu yang disediakannya adalah didaerah Kelua. Beliau meninggal dan dikuburkan di Haurgading, kampung Takulat, dan sekarang menjadi Desa Binturu Kecamatan Kelua.
               Karyanya yang paling monumental dan dikenal luas di Asia Tenggara adalah kitab “ Ad Durrun Nafis Fi Bayani Wahdatil Af’al Wa Asma Wa Sifati Wa Zati Taqidisi”, ( Permata yang Indah yang Menjelaskan tentang Keesaan Af’al, Asma, Sifat dan Zat Yang Maha Suci ), yang dikalangan masyarakat luas dikenal dengan kitab Ad Durrun Nafis. Kitab ini sampai sekarang banyak dipergunakan sebagai kitab yang dipelajari masyarakat untuk bidang ilmu tasawuf. Menurut Ensiklopedia Islam, naskah asli dari Ad Durrun Nafis sampai sekarang belum ditemukan. Yang tertua dari penertiban kitab ini diterbitkan pada tahun 1313 H yang dicetak oleh Mathba’ah al Karim al Islamiyah di Mekkah. Pada terbitan tahun 1323 H termuat pada tepi Kitab Hidayat al Salikin fi suluki Maslaki al Muttaqien karangan Syekh Abdussamad al Palimbani.
            Pada tahun 1343 diterbitkan oleh percetakan Mustafa Babi al Halabi wa Auladihi di Mesir dan pada tahun 1347 H dicetak oleh Dar al Taba’ah al Mishriyah juga di Mesir. Setelah itu terus menerus dicetak di Singapura dan terakhir di Surabaya.
Kitab Ad Durrun Nafis ditulis dalam “bahasa Jawi”, ( bahasa Melayu) dengan huruf Arab-Melayu. Maksud utama kitab ini ditulis dalam bahasa Jawi agar dapat berguna bagi mereka yang tidak memahami bahasa Arab. Dalam kitab ini tidak ditemukan kata-kata dalam bahasa Banjar, berbeda dengan kitab Sabilal Muhtadin karangan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari yang banyak ditemukan kata-kata dalam bahasa Banjar. Kitab ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh pengarangnya berisi ajaran tasawuf yang tinggi, dan mengandung rahasia yang amat halus dan perkataannyapun amat dalam, tiada mengetahui yang demikian kecuali ulama yang rasikh. Kitab ini dikenal sebagai kitab yang amat padat dan kadang-kadang pelik dan sulit dalam ilmu tauhid yang teranyam dengan ilmu tasawuf.
                  Dalam Ensiklopedia Islam disebutkan bahwa kitab Ad Durrun Nafis mengandung ajaran-ajaran tasawuf sunni. Muhammad Nafis berusaha memperluas konsep Wahdat al Syuhud dewahdat al wujud yang diambil dari ibnu Arabi dan pengikut-pengikutnya seperti Abdu al Karim al Jilli, Abdu al Ghani al Nablusi dan Abdullah bin Iberahim Hirghani. Oleh karena itu disatu pihak ia membawakan konsep tasawuf sunni dan di pihak lain ia membawakan konsep tasawuf wahdat al wujud dalam sikap yang mendua.
         3.  Syekh Abdul Hamid Abulung

            Tidak banyak diketahui tentang kapan dia lahir, tetapi yang jelas masa hidupnya adalah semasa dengan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari dan Syekh Mohammad Nafis. Syekh Abdul Hamid membawa ajaran tasawuf yang tidak umum di daerah ini.
              Dalam pelajaran Syekh Abdul Hamid juga diajarkan bahwa syariat yang diajarkan selama ini adalah kulit dan belum sampai kepada hakikat. Ajaran ini pula merupakan hasil pengaruh ajaran Abi Yazid al Busthami (874 M), Husein bin Mansur Al Halaj (858-922) yang kemudian masuk ke Indonesia melalui Hamzah Fansyuri dan Syamsuddin dari Sumatera dan Syekh Siti Jenar dari Jawa.
           Tasawuf Sunni adalah tasawuf yang mengajarkan tentang kebersihan diri rohani dan jasmani dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Dasar utama tasawuf Sunni adalah Al Qur’an dan al Hadits dan di dalam amaliyahnya berpedoman kepada amaliyah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah, Tabi’in dan Tabi’it Tabi’in. Salah satu pokok ajarannya ialah bahwa Tuhan sebagaimana yang diajarkan oleh Imam Asy’ari dan Maturidi, dimana dibedakan secara tegas antara Khaliq dan mahluk. Tauhid, Fiqih dan Tasawuf adalah tiga aspek dari ajaran Islam yang tidak terpisah dan saling menguatkan antara satu dengan lainnya secara harmonis dan diamalkan secara terpadu.
        Faham Wahdatul Wujud menganggap bahwa manusia dan dunia atau manusia dan Tuhan itu menjadi satu, tidak terpisah dalam kehidupan rohani yang tinggi (fana). Banyaklah ucapan-ucapan yang ekstrem seperti : ‘ainul jama’ (menjadi satu dengan Dia) seperti yang selalu
              dikhotbahkan oleh Abu Yasid al Bisthomi, dan kata-kaa hulul  yang  diajarkan dan dipertahankan oleh Husein bin Mansyur Al Hallaj.
       Kalau Syekh Ahmad Syamsuddin Al Banjari, riwayat hidupnya dan bahkan makamnya tidak diketahui, sedangkan Syekh Muhammad Nafis makamnya sempat diragukan tempatnya, maka makam Syekh Abdul Hamid Abulung makamnya jelas tempatnya. Beliau dimakamkan di desa Abulung-Sungai Batang Martapura-Kabupaten Banjar.
        e.   Faham Ahlussunah Waljamaah di Kerajaan Banjar
      Secara umum yang dimaksud dengan Faham ahlussunnah Wal Jama’ah adalah orang-orang yang mengamalkan apa yang telah diamalkan oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Orang-orang yang mengamalkan segala ajaran Nabi Besar Muhammad saw disebut ahlussunah karena mereka berpegang teguh dan mengikuti sunnah Nabi saw. Mereka juga disebut al Jama’ah karena bersatu di atas alhaq atau kebenarannya. Mereka tidak berselisih dalam agama. Mereka berkumpul pada imam al haq dan mereka juga mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan para salaf. Para salaf adalah generasi pertama dari umat Islam, yaitu para sahabat, tabi’in, dan para imam kebenaran. Mereka adalah tiga generasi yang mendapat kemuliaan.
        Karena mereka mengikuti sunnah Rasullullah saw dan jejak para salaf (atsar) maka mereka disebut ahlul hadist, ahlul atsar, dan ahlul ittiba’ (orang yang mengikuti sunah. Mereka juga disebut Al Tha’fah Al Manshurah (Kelompok yang dimenangkan Allah dan Al Firqah An Najiyah (golongan yang selamat).
       Kaum Ahlussunah wal Jamaah ialah kaum yang menganut i’tiqad dianut oleh Nabi Muhammad saw dan sahabat-sahabatnya. I’tiqat yang telah termaktub dalam Al Qur’an dan Sunnah Rasul secara terpencar-pencar, belum tersusun secara rapi dan teratur, tetapi kemudian dikumpulkan dan dirumuskan dengan rapi oleh seorang ulama Ushuluddin yang besar, yaitu Syekh Abu Hasan Ali al Asy’ari yang lahir di Basrah tahun 260 H dan wafat di Basrah pula tahun 324 H dalam usia 64 tahun. Rumusan yang hampir sama adalah rumusan yang dilakukan oleh Abu Mansur al Maturidi yang wafatnya di Maturidi Samarkand, Asia Tengah dalam tahun 33 H, 9 tahun setelah Imam      Abu Hasan Asy’ari wafat. Karena itulah apabila disebut kaum Ahlussunah wal Jamaah, maka maksudnya ialah orang-orang yang mengikuti faham Asy’ari dan faham Abu Manshur al Maturidi. Dalam bidang fiqih pendekatannya adalah mengikuti salah satu dari Imam yang empat, yaitu Imam Syafei, Maliki, Hambali dan Imam Hanafi. Tasawuf sesuai dengan ajaran Imam al Junaidi al Bagdadi dan Imam Al Ghazali. Secara umum disebut sebagai Kaum Sunni, kependekan dari Ahlussunah wal Jamaah, orang-orangnya di sebut Sunniyan.
               Dalam bidang syariat jelas Kerajaan Banjar berpegang pada Mazhab Imam Syafei. Jadi Ahlussunah wal Jamaah yang menjadi pegangan dalam masa Kerajaan Banjar adalah i’itiqadnya menurut rumusan Hasan al Asy’ari dan Abu Musa al Maturidi, sedangkan dalam bidang fiqih atau bidang syariat berpegang pada mazhab Imam Syafei.
D. Kesimpulan
          Islam masuk ke Kalimantan Selatan melalui dua jalur. Pertama, jalur perdagangan. Kedua, melalui utusan langsung yang dikirim oleh Kerajaan Demak. Pada abad ke-14 pasca hilangnya kerajaan Dipa/Daha proses masuknya Islam Ke Kalimantan Selatan telah di mulai. Dan puncak masuk dan berkembangnya Islam terjadi pada abad ke-17 dengan berdirinya Kerajaan Banjar pada tahun 1526. Dibawah kepemimpinan Pangeran Samudera atau yang lebih dikenal dengan Pangeran Suriansyah.
           Dalam sejarah perkembangan Islam di Kalimantan Selatan ternyata faktor budaya Melayu sangat mempengaruhinya. Disamping itu, lahirnya tokoh-tokoh ulama dengan latar belakang pendidikan Makkah dengan karya tulis yang mengagumkan, baik di bidang fiqh ( hukum ),  Tauhid, dan Ilmu Tasawuf.

Daftar Pustaka
Yatim, Badri,  (1993), Sejarah Peradaban Islam ( Dirasah Islamiah II ), Divisi   Buku 
                         Perguruan Tinggi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta

Sunanto, Musyrifah, (2007), Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Divisi Buku 
                         Perguruan Tinggi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta

B.O. Schrieke, Indonesian Archipelago, Part One, The Hague, (1955), dalam Hasan Muarif Ambary, (1976). “Catatan Tentang Masuk dan Berkembangnya Islam di Kalimantan  Selatan”, Prasaran Seminar Sejarah Kalimantan Selatan, Banjarmasin,  
Zuhri, Saifuddin, (1979), Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia,
                          Al Maarif, Bandung
Saleh M. Idwar, (1958), Banjarmasin, Selayang Pandang Mengenai Bangkitnya   
                          Kerajaan  Banjarmasin, Posisi, Fungsi dan Artinya Dalam Sejarah
                          Indonesia Dalam Abad ke-17, alai Pendidikan Guru, Bandung

Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. IDE,KRITIK, DAN PENCERAHAN - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger