MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA : REKAYASA ISLAM

MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA : REKAYASA ISLAM


Tujuan dari Manajemen Sumber Daya Manusia dalam manajemen konvensional adalah meningkatkan kontribusi produktif sumber daya manusia kepada organisasi dengan cara yang bertanggung jawab dari sisi strategik, etik dan sosial.  Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia menunjukkan praktek dan kebijakan yang harus dilakukan berkaitan dengan aspek manusia dalam tugas-tugas manajemen.  Sedangkan Manajemen Sumber Daya Manusia; Rekayasa Islami disini adalah meningkatkan kontribusi produktif sumber daya manusia dalam hal ini adalah peran manajer SDM mengantarkan para karyawan melalui pekerjaannya dalam perusahaan, lembaga pendidikan, kantor pemerintahan atau yayasan untuk mencapai derajat insan kamil atau dengan kata lain, hal ini dapat diwujudkan dengan mengelola SDM yang dimiliki secara Islami.
Manusia bekerja dalam perusahaan sedangkan perubahan-perubahan yang terjadi pada perusahaan abad 21 ini menuntut keterampilan dan fleksibilitas SDM yang tidak sama dengan periode sebelumnya. Korporasi akan berbeda dengan yang selama ini kita pelajari. Seperti mesin uap dan assembly-line yang membawa perubahan besar pada jamannya, maka teknologi informasi dan komunikasi memberikan dampak yang sama untuk saat ini. Ditambah dengan berbagai tantangan yang dinamis, maka korporasi abad 212 harus beradaptasi terhadap berbagai perubahan manajemen dan perubahan lingkungan yang terjadi. Bagan organisasi besar yang lazim digambarkan sebagi suatu piramida dengan posisi CEO (Chief Executive Officer) pada puncaknya, kemudian tingkatan manajer menengah yang diikuti oleh tingkatan manajer bawah yang relatif lebih gemuk sekarang ini telah banyak yang berganti dengan bentuk jaring laba-laba; datar (flat), dengan bentuk-bentuk yang mengaitkan mitra, pekerja, kontraktor eksternal, pemasok dan pelangggan dalam berbagai kolaborasi. Para pemain ini yang lazim disebut stakeholder bertumbuh semakin lama semakin independen sehingga mengelola jaringan (networking) menjadi sama pentingnya dengan mengelola operasi internal perusahaan. Perubahan ini tentu akan membawa dampak pada Manajemen Sumber Daya Manusia yang dituntuk untuk menjadi lebih dinamis dan lebih inovatif dalam meningkatkan fungsinya.
Selain perubahan dalam korporasi atau perusahaan, dalam pemikiran manajemen akhir-akhir ini pun terjadi pergeseran dari intelektual/rasional ke emosional dan kemudian bertransformasi ke spritual. Sekalipun menurut pencetusnya istilah spritual berasal dari bahasa latin  spiritus, yang artinya sesuatu yang memberikan kehidupan atau vitalitas pada sebuah sistem dan tidak dikaitkan dengan kepercayaan tertentu, akan tetapi bukankah agama sangat lebih dari mampu untuk memberikan kehidupan dalam sistem kemasyarakatan termasuk sistem manajemen. Tulisan ini mencoba mengulas bagaimana Manajemen Sumber Daya Manusia jika dijalankan secara Islami.
A. Sumber Daya Manusia; Rekayasa  Islami dalam Perusahaan 
Kata perusahaan digunakan disini adalah dalam pengertian yang luas, karena selain memasukkan pengertian perusahaan besar seperti korporasi menjangkau pula lembaga-lembaga lain seperti lembaga pendidikan, yayasan, pemerintahan, rumah sakit dan semua lembaga yang menghajatkan manajemen sumber daya manusia untuk memajukan efektifitas dan menejemen di lembaga tersebut. Selain itu menjangkau pula usaha-usaha lain yang tidak berbentuk badan hukum resmi seperti toko atau warung. Sebagaimana yang dikatakan oleh Werther dan Davis, tanggung jawab terhadap aktivitas manajemen sumber daya manusia terletak di bahu setiap manajer.  Pada lembaga pendidikan seorang Kepala Sekolah atau dalam perusahaan, seorang mandor (supervisor) sebenarnya adalah jabatan manajer paling rendah karena mandor sudah memiliki bawahan yang harus diawasi dan dipimpinnya. Sama halnya seperti CEO (Chief Executive Officer) yang merupakan manajer puncak mandor pun bertanggung jawab terhadap bawahannya, mengarahkan mereka dan berupaya meningkatkan produktivitas mereka, dengan kata lain mandor adalah pemimpin bagi bawahannya.
Dalam Islam tanggung jawab ini lebih luas, karena setiap manusia adalah khalifah di muka bumi. Jika ia hanya bekerja (frontline) yang tidak memilki bawahan, ia pun tetap dinamakan seorang khalifah, pemimpin bagi dirinya sendiri. Memang ia tidak memilki tanggung jawab terhadap aktivitas SDM,  namun ia dibebani tanggung jawab terhadap aktivitasnya sendiri, sehubungan dengan dorongan-dorongan yang diberikan Islam untuk bekerja. Etos kerja yang ditanamkan Islam itulah yang harus diikuti agar kerjanya mendapat genjaran sebagai ibadah, tentunya dengan niat yang tulus. Pada waktu menjawab pertanyaan seseorang tentang cara berusaha atau bekerja yang baik, Nabi berkata: “Pekerjaan seseorang dengan tangannya dan setiap transaksi jual-beli dibenarkan. Orang yang menderita karena membiayai keluarganya tak ubahnya seperti pejuang di jalan Allah. (Hadits  diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib). Jadi dengan etos kerja yang Islami setiap individu sadar atau tidak melatih dirinya menjadi tenaga-tenaga profesional.
Selain itu hendaklah diingat behwa Al-Qur’an senantiasa memerintahkan untuk mencari dan mencapai prioritas-prioritas yang Allah tentukan dalam Al-Qur’an. Allah Swt berfirman:
1) QS Al-An’am ayat 32.
 “Dan Tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka,  dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?...”

2) QS Al-A’raf ayat 169.
 “Maka datanglah sesudah mereka generasi (yang jahat) yang mewarisi Taurat, yang mengambil harta benda dunia yang rendah ini, dan berkata: "Kami akan diberi ampun". dan kelak jika datang kepada mereka harta benda dunia sebanyak itu (pula), niscaya mereka akan mengambilnya (juga). Bukankah Perjanjian Taurat sudah diambil dari mereka, Yaitu bahwa mereka tidak akan mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar, Padahal mereka telah mempelajari apa yang tersebut di dalamnya?. dan kampung akhirat itu lebih bagi mereka yang bertakwa. Maka Apakah kamu sekalian tidak mengerti?...”
3) QS Al-Anfal ayat 67.
 “ Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana... ”
4) QS Yusuf ayat 57.
 “Dan Sesungguhnya pahala di akhirat itu lebih baik, bagi orang-orang yang beriman dan selalu bertakwa”
5) QS Al-Ra’d ayat 26.
 “Allah meluaskan rezki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki. mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, Padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit)”.
Islam mengajak pemeluknya agar selalu berada di depan, menjadi umat terbaik yang dapat memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia. Artinya, bagi seorang manajer yang menjalankan aktivitas MSDM secara Islam, tanggung jawabnya tidab berhenti dengan tercapainya target produktivitas unit usahanya, namun akan terus dibawanya ke akhirat. Artinya bagi kinerja manajer yang notabene adalah khilafah tadi tidak diukur dari apa yang dapat dihasilkannya semata, melainkan juga dengan cara bagaimana ia menghasilkannya? bagaimanakah ia mensikapi pekerjaannya? dan bagaimanakah ia menghadapi bawahannya?. Dorongan Islam agar individu rajin bekerja adalah dengan menjadikan pahalanya sama seperti pahala ibadah, tentunya jika dilandasi dengan ketulusan karena Allah Swt semata. Jadi seperti telah diungkap di atas, keberhasilan manajer SDM rekayasa Islami bukanlah semata-mata diukur dari produktivitas SDM-nya atau efisiensi dana atau turnover rendah atau tingkat absensi rendah atau kepuasan kerja karyawan, melainkan harus ditambah lagi dengan bagaimana ia mampu mendorong karyawannya bekerja di unit usahanya sebagai ‘ladang amal’ dan ‘kebun-kebun ibadah’ yang hasilnya tidak terukur dengan materi.
Pertanyaan lanjut yang timbul adalah bagaimana seharusnya seorang manajer SDM Islami berperilaku? Untuk ini barangkali kita dapat melihat buku Kertajaya dan Sula berjudul ‘Syariah Marketing’ dimana mereka menyebutkan ada sembilan etika pemasar yang akan menjadi prinsip-prinsip dalam menjalankan fungsi-fungsi pemasaran, yaitu: memiliki kepribadian spiritual (Taqwa), berperilaku baik dan simpatik (Shiddiq), berlaku adil (Al-‘Adl), bersikap melayani dan rendah hati (Khidmah), menepati janji dan tidak curang, jujur dan terpercaya (Al-Amanah), tidak berburuk sangka (Su’udz-zhann), tidak suka menjelek-jelekkan (Ghibah), dan terakhir tidak melakukan sogok (Riswah).  Kesembilan etika ini pada dasarnya adalah etika yang dituntut untuk dimiliki oleh semua pekerja ( tidak terbatas pada pemasar saja), terlebih lagi dengan semakin tingginya tingkat yang mereka jabat dalam hierarkhi manajemen yang menandakan semakin besarnya tanggung jawab dan peran mereka sebagai pemimpin.
Khusus untuk tulisan ini. Perlakuan terhadap tenaga kerja dari tahun ke tahun tidak terlepas dari latar belakang perkembangan usaha itu sendiri dan perkembangan pemikiran  dalam MSDM. Namun dalam MSDM Islami, perlakuan terhadap tenaga kerja secara khusus harus mencerminkan perlakuan yang Islami dan pandangan Islam terhadap manusia itu sendiri. Pada dasarnya perlakuan yang Islami terhadap tenaga kerja adalah menganggapnya sebagai saudara, sebagai mitra dalam memajukan unit usaha. Sebagaimana teori ekonomi yang menganggap SDM sebagai salah satu faktor input dalam produksi, pemikiran dalam manajemen pun pada awalnya tidak menganggap SDM sebagai mitra.
Jika kita menengok ke belakang maka kebutuhan terhadap jumlah karyawan yang besar dalam satu unit usaha dimulai pada revolusi industri. Sebelum era ini, hubungan atasan bawahan yang berlaku lebih banyak ditemukan dalam kalangan militer, karena unit-unit usaha yang besar belum lazim ditemukan. Revolusi industri yang terjadi pada abad ke-19 merupakan titik awal kebangkitan usaha-usaha berskala besar. Dengan demikian besarnya sekala usaha meningkat pula kebutuhan terhadap Sumber Daya Manusia. Pada era Scientific Management, produktivitas tenaga kerja begitu diperhatikan sehingga berbagai upaya diciptakan agar output yang dihasilkannya meningkat. Model pengupahan dengan piece rate system adalah hasil dari Scientific Management dalam upaya menggenjot produktivitas pekerja.
Produktivitas memang meningkat dengan cara ini, akan tetapi akselerasi  produktivitas menyebabkan rasa keterasingan pada tenaga kerja karena mereka diperlukan seperti layaknya salah satu sekrup mesin dalam proses produksi. Hal ini kemudian disadari oleh sekelompok peneliti dalam studinya yang terkenal dengan Hawthorne Studies, dari sini mulai tenaga kerja lebih diperhatikan kebutuhan sosialnya dan tidak semata materi sebagai hasil piece-work nya. Hubungan interpersonal mulai ditekankan, namun secara keseluruhan mereka ini tetaplah salah satu faktor produksi dengan treatment yang agak khusus, sehingga mereka merasa lebih diperhatikan. Dalam era ini psikolog sangat berperan mengeluarkan konsep dan teori baru dalam mengelola SDM, namun belum ada satu teori pun yang menyatakan bahwa mereka harus diperlakukan sebagai mitra usaha.
Sebagaimana tuntutan agama untuk memperlakukan tenaga kerja sebagai saudara, maka sewajarnyalah jika dalam unit usaha perlakuan ini diimplementasikan dengan menganggap mereka sebagai mitra dalam usaha. Dalam Islam, pandangan ini diwujudkan dengan duduk makan pada meja yang sama, memakan makanan yang sama.  Jadi jelas bahwa ruang makan Direksi yang terpisah dari karyawan bukan suatu perilaku yang Islami dalam mengelola SDM. Lebih jauh lagi, perlakuan terhadap tenaga kerja yang dilandasi dengan praktek-praktek yang Islami secara tidak langsung berfungsi menjaga kemarmonisan hubungan industrial.
Aktivitas yang terkait dengan SDM Islami dalam unit usaha pada dasarnya sama seperti aktivitas MSDM, yang dapat dikelompokkan dalam tiga kegiatan utama diantaranya: (1) pengadaan, yaitu kegiatan rekrutmen dan semua kegiatan pendahulunya, seleksi dan penempatan awal; (2) pemeliharaan, yaitu kegiatan pemberian motivasi yang dalam arti luas termasuk upah/gaji, latihan dan pengembangan, evaluasi kinerja, promosi, demosi, mutasi, hubungan industrial dan (3) separasi. Setelah separasi mau tidak mau unit usaha akan kekurangan tenaga kerja sehingga perlu dilakukan rekrutmen lagi. Gambar 1 berikut ini mencoba menggambarkan tiga kegiatan utama dalam Manajemen Sumber Daya Manusia; Rekayasa Islami..
Aktivitas Pengadaan Sumber Daya Manusia; Rekayasa Islami
Aktivitas pengadaan Sumber Daya Manusia; Rekayasa Islami meliputi tiga jenis kegiatan utama yaitu rekrutmen, seleksi dan penempatan. Sebelum masuk ke dalam tahap rekrutmen, ada beberapa kegiatan pendahulunya, seperti perencanaan tenaga kerja, analisis jabatan bahkan untuk perusahaan-perusahaan besar sangat boleh jadi mereka melakukan terlebih dahulu kegiatan survey tenaga kerja. Kegiatan pendahulu dari rekrutmen ini boleh dikatakan semuanya tergolong dalam kegiatan teknis ilmiah yang seharusnya memang dilakukan secara profesional dan obyektif, sehingga tidak diulas secara rinci dalam tulisan ini. Namun demikian dalam garis besarnya, perencanaan tenaga kerja tidak lain adalah memperkirakan kebutuhan SDM mendatang, dan melalui perencanaan pula kebutuhan staffing baru akan terungkap.
Dalam merencanakan tenaga kerja berbagai tantangan dan peluang perlu mendapatkan perhatian, termasuk penawaran di pasar tenaga kerja, perkembangan organisasi, dan tantangan-tantangan dalam dunia usaha. Selain itu setiap unit usaha harus mengenali kebutuhan-kebutuhan tenaga kerja jangka pendek dan jangka panjang dengan mempelajari strategi perusahaan. Jangka pendek menunjukkan posisi yang terbuka dan harus diisi dalam jangka paling tidak setahun, sedangkan jangka panjang memperkirakan kebutuhan SDM untuk 2 tahun, 5 tahun atau lebih. Dari sinilah kemudian kebijakan rekrutmen disusun.
Adil dalam rekrutmen berarti memperlakukan setiap pelamar sama dan memberi peluang yang sama bagi setiap orang. Apakah rekrutmen dilakukan secara eksternal atau internal, semuanya tergantung pada kebutuhan dan kesesuaian antara kualifikasi yang dimiliki calon tenaga kerja dan lowongan yang tersedia. Kekerabatan dan pertemenan tentunya tidak berpengaruh dalam hal ini, kecuali sebagai referensi tambahan. Dalam suatu kesempatan Nabi pernah memilih tenaga non-Muslim untuk suatu pekerjaan dan tidak mendahulukan yang Muslim, semata-mata karena kualifikasi yang dibutuhkan. Jadi selama semuanya dilakukan dengan adil, transparan dan obyektif, maka masalah kedekatan, perkawanan dan kekerabatan tidak lagi berperan.
Dengan pandangan yang diarahkan pada kebutuhan masa depan, tahap rekrutmen mencari sejumlah pelamar yang memenuhi persyaratan pekerjaan tersebut. Hasil dari proses rekrutmen adalah kumpulan pelamar yang telah memenuhi syarat sehingga siap untuk disaring melalui tahap seleksi. Dua proses yang saling berkaitan rekrutmen dan seleksi ini sangat penting artinya, dimana proses seleksi berakhir dengan diterimanya karyawan. Dalam tahap seleksi ini, penilaian terhadap kinerja calon karyawan harus harus dilakukan relatif terhadap yang lainnya, sehingga mau atau tidak obyektifitas yang dituntut harus mengemukakan kriteria adil.
Dengan kaitannya dengan rekrutmen dan seleksi, ada empat sifat Nabi Muhammad Saw yang sudah sangat dikenal di kalangan ulama, tapi masih jarang diimplementasikan dalam dunia manajemen. Keempat sifat ini sebenarnya adalah key success factors (KSF) dalam mengelola suatu bisnis, agar mendapat celupan nilai-nilai moral yang tinggi. Acuan pada empat sifat ini (shiddiq/benar dan jujur, Amanah/tepercaya/credible, Fathanah/cerdas, Thabligh/komunikatif ) tampaknya sangat relevan dalam upaya mendapatkan tenaga kerja berkualitas. Namun demikian sangat disadari bahwa empat sifat Rasulullah Saw yang merupakan manusia sempurna ini, tidak mungkin sekeligus dimiliki oleh manusia awam dalam bobot yang sama, oleh karena itu penekanan pada satu atau lebih diantaranya perlu dilakukan dalam menyesuaikan pada kebutuhan pekerjaan.

Analog dengan tiga keterampilan manajemen (operational skills, interpersonal skills, conceptual skills) yang diperlukan pada setiap tingkat manajemen, baik manajemen tingkat bawah, tingkat menengah maupun tingkat puncak, namun dengan bobot yang berbeda, maka kemampuan tenaga kerja dengan sifat Nabi diperlukan dengan setiap jenis pekerjaan dengan bobot yang berbeda pula. Maksudnya si A dan si B sama-sama jujur, namun bobot kejujuran si A relatif lebih tinggi dibanding si B, demikian pula bobot kecerdasan si C lebih tinggi dibanding si D atau kredibilitas si B lebih baik dibanding A dan C dan seterusnya. Siapa yang diterima untuk menempati suatu tugas tertentu sangat ditentukan oleh jenis/kebutuhan tugas yang harus dijalankan. Jadi dalam proses pengadaan tenaga kerja bobot ini harus disesuaikan dengan kebutuhan pekerjaannya.
Sebagai contoh sifat jujur sangat menonjol diperlukan untuk menjaga gudang atau kasir, namun tentunya dengan tidak meninggalkan tiga sifat lainnya sekalipun dalam kadar yang minimal. Sifat thabligh/komunikatif lebih dibutuhkan untuk bidang pemasaran atau bidang hubungan publik, namun ini merupakan keharusan bagi setiap manajer karena menyangkut interpersonal skills yang harus dimilikinya. Sifat cerdas lebih diutamakan untuk jenis pekerjaan yang membutuhkan analisis, sifat amanah untuk pekerjaan-pekerjaan yang sejenis freight forwarder atau bank atau sekedar untuk penitipan bayi (day-care center), dan seterusnya.
Dimilikinya empat sifat ini oleh tenaga kerja banyak sedikitnya menjamin bahwa mereka memiliki apa yang sekarang dikenal dengan kecerdasan inteligensia (IQ), kecerdasan emosi (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) yang semakin lama semakin dibutuhkan dalam melaksanakan pekerjaan . Jadi sifat-sifat kenabian ini harus diupayakan mendapatkannya dalam diri karyawan dengan cara merancang tes-tes seleksi yang sesuai maupun dalam wawancara. Sifat-sifat ini kemudian diperkuat dan ditanamkan dengan menyisipkannya dalam berbagai program pelatihan. Selain itu akan jauh lebih bermanfaat dan cerdas jika dapat di adopsi sebagai budaya korporasi.
Proses seleksi juga harus dijalankan dengan prinsip impersonal dalam arti tidak pandang bulu siapa yang diseleksi, kriteria kelulusan harus sama. Salah satu tujuan proses seleksi yang Islami adalah mendapatkan karyawan yang nantinya dapat berlaku adil buat semua, karena dalam perjalanan waktu dan karir, pendatang baru ini nantinya akan berkembang menjadi pimpinan masa depan perusahaan tersebut. Dapat dikatakan bahwa seleksi maupun titik yang paling menentukan dalam MSDM, sekalipun seleksi yang hasilnya kurang baik dan berakhir dengan separasi yang lebih awal.
Lazimnya tenaga kerja baru, sangat jarang yang dapat memenuhi dengan persis apa yang diinginkan perusahaan sehingga mereka perlu diberi orientasi terlebih dahulu, kemudian melalui proses sosialisasi diharap mereka akan mampu beradaptasi dengan lingkungan internal perusahaan. Untuk memperkenalkan nuansa Islami  dan perilaku yang Islami ditempat kerja, maka orientasi dan sosialisasi merupakan kesempatan yang sangat tepat sebagai sarananya.
Dinamika bisnis menyebabkan permintaan terhadap tenaga kerja relatif lebih sering berubah-ubah kualifikasinya sehingga penyesuaian setiap kali harus dilakukan. Oleh karena itu kegiatan penempatan (placement) tidak hanya dilaksanakan setelah seleksi melainkan meliputi pula penempatan dalam rangka promosi, demosi, transfer dan pemberhentian. Khusus untuk promosi lazimnya perusahaan melakukan terlebih dahulu pelatihan dan pengembangan yang disesuaikan dengan kebutuhan untuk jabatan yang akan dipegang oleh tenaga kerja. Selain itu pelatihan diperlukan setiap kali ada peralatan baru ataupun sistem kerja yang baru. Intinya pelatihan dan pengembangan diperlukan untuk mengisi gap antara kualifikasi yang ada dengan kualifikasi yang dibutuhkan.
Belajar pada sejarah, kita dapati Rasulullah Saw menempatkan Muadz bin Jabal sebagai Gubernur Yaman karena kefahaman, ketajaman akal dan akhlaknya yang terpuji; menempatkan Umar bin Khattab mengatur sedekah karena sifat adil dan tegasnya ataupun menempatkan Khalid sebagai pimpinan militer karena kemahiran dan terlatihnya dibidang militer. Untuk ini sabda Rasul yang terkenal: “Apabila pekerjaan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, tunggulah saat kehancurannya”. Dalam bahasa modern, ‘the right man in the right place’. Atau dapat saja calon karyawan suatu perusahaan menunjukkan kelebihan dirinya, sepanjang ia mengatakan ini dengan jujur dan didorong oleh motivasi ingin meningkatkan produktivitas kerja, sebagaimana Al-Qur’an menceritakan tentang Nabi Yusuf pada surah Yusuf ayat 55:
“Berkata Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan".

C. Aktivitas Pemeliharaan Sumber Daya Manusia; Rekayasa Islami
Jika pekerja telah diterima dalam perusahaan, maka pertumbuhan dan perkembangannya dari waktu ke waktu harus menjadi perhatian. Manusia secara rata-rata menghabiskan lebih dari 30 tahun usia produktifnya dengan bekerja. Agar usia ini bermanfaat bagi dirinya dan bagi perusahaan, dalam menjalankan aktivitas pemeliharaan Sumber Daya Manusia, ada dua hal dasar mendasar yang harus diperhatikan, yaitu pertama, tujuan hidup manusia. Setiap manusia sadar atau tidak sebenarnya hanya memiliki satu tujuan yaitu Allah Swt. Oleh karena itu dibalik semua hukum-hukum syari’ah, adalah hubungan pribadinya (inner relationship) dengan Allah Swt, cinta dan rasa takut pada-Nya baik di dunia maupun di akhirat kelak. Rasa cinta atau takut pada-Nya inilah yang menimbulkan kegelisahan atau ketentraman.
Kedua adalah konsep insan kamil (manusia sempurna) sebagai sarana mencapai Allah Swt. Untuk mendapatkan kemuliaan disisi Allah, setiap manusia akan berusaha sebaik-baiknya mendapatkan predikat insan kamil atau (manusia sempurna). Jika konsep insan kamil atau (manusia sempurna) masih abstrak maka sebagai operasionalisasinya adalah empat sifat Rasulullah Saw yang telah diuraikan di muka dapat dijadikan sebagai strategi yang menggiring karyawan ke arah insan kamil atau (manusia sempurna). Sebagaimana acuan di muka, acuan pada tahap seleksi adalah 4 sifat Rasulullah Saw (shiddiq, amanah, fathanah dan tablig); dalam upaya mendapatkan insan kamil atau (manusia sempurna) maka empat sifat yang dalam kadar berbeda yang pasti dimiliki semua orang ini harus diperkuat.
Dalam MSDM konvensional, lingkup pemeliharaan mencakup beberapa topik yang selalu menjadi perhatian para manajer yaitu sistem imbalan, pemberian motivasi, pelatihan, pengembangan karir, penilaian kinerja. Topik-topik tersebut akan diulas dalam bagian berikut ini. Namun sebelumnya terlebih dulu akan dijelaskan tentang teori keadilan dari J. Stacy Adams  yang mencoba memberikan argumentasi mengapa seseorang itu mau bekerja dan mengapa ia puas atau tidak puas dengan pekerjaannya tersebut serta apa tindakan apa yang akan diambilnya. Teori yang dikemukakan Adams ini merupakan teori yang bercerita tentang keadilan yang dapat penulis temukan dari manajemen (MSDM) konvensional. Teori ini dikemukakan karena kuatnya penekanan Islam terhadap dimensi keadilan ini dan dimensi ini paling banyak dibutuhkan dalam aktivitas pemeliharaan SDM.
Dalam manajemen dikenal apa yang disebut dengan equity theory yang tampaknya berpegang pada asas keadilan. Teori yang dikemukakan oleh J. Stacy Adams ini mengatakan bahwa individu akan membandingkan input dan outcome pekerjaannya dengan individu lainnya, kemudian bereaksi untuk menghilangkan setiap ketidak adilan yang dirasakan. Dalam hal ini input dapat berupa jam kerja, keterampilan, kecerdasan, kemampuan dan pendidikan, sedangkan outcome lebih sering diukur dengan gaji dan fasilitas yang diperoleh. Individu pekerja kemudian membandingkan rasio antara input dan outcome ini seperti dalam tabel berikut:
Tabel 1
Persepsi Adil dan Tidak Adil dari Individu
( terhadap apa yang diterimanya dari pekerjaan)
Perbandingan Rasio Persepsi 
O/Ia < O/Ib Ketidak adilan karena diberi imbalan lebih rendah
O/Ia = O/Ib Adil 
O/Ia > O/Ib Ketidak adilan karena menerima lebih banyak
Keterangan:
(a) Menunjukkan individu yang bersangkutan; O/Ia adalah rasio antara outcome yang diterima individu a tersebut dengan input yang diberikannya.
(b) Menunjukkan individu yang digunakan sebagai pembanding; O/Ib adalah rasio antara outcome yang diterima individu b dengan input yang diberikannya.
Ada empat jenis pembanding yang dapat digunakan, pertama dari pengalamannya sendiri bekerja di posisi yang berbeda dalam organisasinya yang sekarang. Misalnya dulu ia bekerja di bagian arsip dan sekarang ia di bagian gudang. Kedua dari pengalamannya bekerja dalam situasi/posisi di luar organisasinya yang sekarang; misalnya dulu ia bekerja sebagai sekretaris perusahaan A dan sekarang juga sebagai sekretaris, tapi di perusahaan B. Ketiga, individu atau kelompok individu lain dalam organisasi yang sama. Misalnya, karyawan bagian marketing membandingkan dirinya dengan karyawan bagian akunting. Pembanding yang keempat adalah individu atau kelompok individu lainnya dalam organisasi yang berbeda. Misalnya office boy di perusahaan A membandingkan dirinya dengan rekan sekerja (sesama office boy) di perusahaan yang sama. Jadi karyawan dapat membandingkan dirinya dengan teman-teman, tetangga, rekan sekerja dalam organisasi lain atau dengan pekerjaannya sendiri di masa lalu.
Berdasarkan teori keadilan ini, jika individu pekerja merasa diperlakukan tidak adil (O/Ia ≠ O/Ib) ia akan bereaksi dengan salah satu dari enam cara yaitu pertama berubah input (tidak berusaha sebaik-baiknya), kedua merubah outcome (misal pekerja yang digaji per unit akan menurunkan kualitas produk dan bekerja asal cepat supaya out come-Nya banyak). Ketiga merubah persepsi terhadap dirinya sendiri, keempat merubah persepsinya terhadap orang lain, kelima mengganti pembanding dan terakhir berhenti dari pekerjaan atau dalam istilah SDM, melakukan separasi. Teori ini tampaknya perlu dipahami oleh para manajer dalam mempertimbangkan berbagai keputusan dalam bidang SDM, khususnya aktivitas pemeliharaan.
Sistem imbalan, baik yang berupa uang maupun non-uang pada hakekatnya adalah bagian dari motivasi. Pemberian motivasi merupakan sesuatu yang mutlak diperlukan dalam kegiatan usaha, dan bentuknya bermacam-macam tidak terbatas pada upah dan gaji semata. Kepemimpinan yang baik dan diterima secara luas dapat pula dimanfaatkan sebagai sarana menimbulkan motivasi kerja, karena pujian ataupun sekedar senyuman dari pimpinan yang kharismatik kadang cukup untuk membangkitkan semangat kerja. Jadi dalam membangkitkan motivasi jangan terlalu terbius oleh pendapat-pendapat dari Maslow, Herzberg, McClelland, dan sebagainya yang umum dikenalkan dan diajarkan di setiap studi manajemen atau psikologi.
Semua teori ini sangat dapat didiskusikan ulang, terutama karena belum tentu cocok dengan kondisi dan karekter orang Indonesia. Misalnya saja asumsi yang digunakan Maslow, bahwa kebutuhan pada jenjang yang lebih tinggi baru muncul setelah kebutuhan dasar terpenuhi. Banyak orang yang lebih mementingkan pertemanan dan kebersamaan (belongingness) dibandingkan makan bergizi dan tinggal di rumah layak. Berbagai macam kebutuhan manusia secara empiris jelas timbul bersamaan, lihat saja bayi yang menangis, ia tidak selalu diam jika diberi susu (kebutuhan fisiologis), ada kalanya sekedar usapan lembut di kepala sudah menyenangkannya.
Kembali pada Islam, di muka telah disebutkan bahwa rasa cinta atau takut pada Allah Swt akan menimbulkan semacam kegelisahan. Kegelisahan ini merupakan dorongan untuk memperbaiki diri atau berbuat lebih baik lagi agar mendapat ridho-Nya. Oleh karena itu dalam konsep yang Islami dikenal adanya self-motivation. Teori-teori motivasi secara umum mengakui adanya kegelisahan (tension) ini dan kondisi ini timbul karena adanya kebutuhan yang tidak terpuaskan. Jika kebutuhan ini terpuaskan maka kegelisahan tadi lenyap untuk sementara dan kemudian timbul lagi jika muncul kebutuhan-kebutuhan baru yang menuntut kepuasan dalam diri manusia. Proses motivasi pada umumnya digambarkan sebagai berikut:
Teori motivasi kondisi gelisah ini dimanfaatkan dengan pemberian motivasi sehingga terjadi dorongan-dorongan yang diarahkan pada perilaku mencari yang memberi manfaat pada perusahaan. Misalnya menaikkan gaji untuk mendapatkan perilaku kerja yang lebih produktif. Setelah gaji naik, kebutuhan terpuaskan dan karyawan tidak lagi gelisah. Kondisi ini tidak akan berlangsung lama, kegelisahan baru akan timbul dan ini dimanfaatkan lagi untuk mendapatkan perilaku kerja yang meningkat. Namun disayangkan semua teori motivasi dan teori-teori kebutuhan (needs theories) hanya mengotak-atik kebutuhan duniawi manusia; sedangkan di muka telas dijelaskan perkembangan dalam manajemen yang mulai menyadari adanya aspek spiritual dalam diri manusia yang tentu memiliki kebutuhannya sendiri.
Bagi Islam, satu-satunya keterbatasan mutlak yang diberikan Tuhan dalam kehidupan dunia adalah waktu, dilain pihak tuntutan untuk memenuhi segala kebutuhan dalam bingkai waktu harus dapat dilakukan dengan bijak. Pemberian motivasi bagi pekerja secara Islami harus mampu menyeimbangkan pemenuhan semua kebutuhan ini. Hal penting yang perlu diingat dalam Islam bahwa kehidupan tidak berakhir dengan kematian, oleh karena itu banyak sekali kita temukan dalam Al-Qur’an kata dun-ya yang dipersandingkan dengan akhirah. Imbalan yang mendekatkan pada kehidupan mendatang perlu pula menjadi bahan pertimbangan dalam memberikan motivasi. Contoh yang telah banyak dijalankan adalah bonos berupa perjalanan haji yang biasanya dikaitkan dengan kinerja dan masa kerja. Namun yang paling penting adalah menyadarkan pekerja akan adanya inner-motivation tadi dan usaha manajemen semaksimal mungkin untuk memenuhi semua kebutuhan ini dan sekali lagi tidak harus berarti materi.
Aktivitas pemeliharaan SDM bagaimanapun melingkupi aktivitas pelatihan dan pendidikan yang pada intinya bertujuan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan. Ilmu pengetahuan begitu diutamakan dalam Al-Qur’an sehingga ayat yang turun pertama kali adalah perintah untuk membaca (Iqra), baca tidak sekedar membaca tetapi membaca dengan nama Allah yang telah menjadikan. Secara luas membaca tidak terbatas pada yang tersurat melainkan juga yang tersirat atau dengan perkataan lain berarti suruhan untuk belajar. Ketika Al-Qur’an sama sekali belum diturunkan secara utuh, maka obyek dari perintah untuk membaca itu adalah alam semesta dengan seluruh aspek penciptaannya.  Artinya, kita disuruh untuk menjadi professional, karena inilah hasil akhir dari membaca, memahami dan mengaplikasikan apa yang telah dipahami tersebut.
Setiap jenjang jabatan memerlukan pengetahuan dan keterampilan khusus, untuk ini memang setiap kali diperlakun pelatihan apa itu dalam bentuk on-the-job, off-the-job, atau melalui seminar, lokakarya, ataupun kursus pendek. Bagian SDM harus memiliki anggaran untuk pelatihan dan peningkatan keterampilan ini. Sebagian perusahaan malah ada yang memberikan peluang untuk latihan atau menambah pengetahuan menjelang masa pensiun, sehingga setelah pensiun kelak, karyawan tadi memiliki modal pengetahuan yang cukup yang memungkinkannya untuk bekerja secara mandiri, bila masih menghendaki.
Dibalik semua yang diuraikan ini perlu diingat bahwa jika karyawan itu telah diterima bekerja diperusahaan kita, maka ia akan menjadi bagian dari keluarga besar. Secara Islami tanggung jawab pimpinanlah untuk menjaga ahlinya (keluarga besar tadi) dari api neraka, artinya selain pendidikan dan pelatihan yang sifatnya untuk pekerjaan, pendidikan dan pelatihan untuk peningkatan mutu akhlak diperlukan pula. Hal ini tidak harus diartikan dengan setiap kali ada ceramah agama, melainkan dalam setiap kesempatan nilai-nilai yang Islami harus ditampilkan, begitu pula dalam setiap masalah, solusi yang Islami harus dicarikan.
Penilaian kinerja tidak hanya untuk mengevaluasi SDM, melainkan juga menjadi indikator sebaik apa aktivitas SDM telah dilakukan. Kinerja yang buruk berarti kegiatan seleksi, pelatihan dan pengembangan harus diperbaiki, atau kemungkinan ada masalah dengan komunikasi dan hubungan interpersonal dalam perusahaan. Untuk evaluasi terhadap SDM, kinerja mereka merupakan dasar untuk menentukan imbalan, promosi dan karir ke depan. Buku-buku teks SDM menguraikan berbagai cara untuk evaluasi kinerja, apakah itu point system, grading system dan sebagainya. Dalam pandangan yang Islami apapun cara yang digunakan untuk evaluasi kinerja adalah baik sepanjang dilakukan dengan obyektif dan adil.
Menurut Cascio, pekerjaan adalah hal yang amat penting bagi individu, karena pekerjaan menentukan standar kehidupan, tempat tinggal, status bahkan harga diri. Sedangkan bagi organisasi pekerjaan penting artinya karena merupakan kendaraan melalui mana tujuan organisasi dapat dicapai.  Bagi Islam bekerja adalah suatu kewajiban, dan mereka yang melakukan suatu pekerjaan pahalanya sama seperti orang yang melakukan ibadah . Diantara ayat-ayat Al-Qur’an yang mendorong untuk bekerja adalah pada surah Al-Mulk ayat 15:
“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”.
pada surah yasiin ayat 34-35:
34. Dan Kami jadikan padanya kebun-kebun kurma dan anggur dan Kami pancarkan padanya beberapa mata air;
35. Supaya mereka dapat Makan dari buahnya, dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka. Maka Mengapakah mereka tidak bersyukur?

Jika bekerja dianggap begitu penting bagaimana pula perencanaan dan pengembangan karir?
Kearifan yang diajarkan orang tua menyuruh kita untuk merenung setiap akan tidur malam, kita diajarkan untuk evaluasi diri, apakah yang kita kerjakan hari tadi sudah lebih baik dibanding yang kita kerjakan kemaren, kemudian kita harus berniat dan bertekad agar hari esok lebih baik lagi dibanding hari ini. Bukankah ini suatu perencanaan karir? Saat ini sudah umum kita dengar karyawan berhenti dari satu pekerjaan dengan alasan karirnya tidak dapat berkembang lagi. Hal demikian adalah sesuatu yang wajar, karena dalam perjalanan panjang menuju Yang Maha Kuasa, “bekal” yang dibawa harus cukup. Jadi jika pada perusahaan tersebut “bekal” kita tidak lagi bertambah, tidak ada halangan untuk mencari yang lebih baik.
Pengembangan karir penting artinya baik bagi unit usaha maupun karyawan itu sendiri. Kegagalan memotivasi karyawan untuk merencanakan karir mereka akan berakibat pada turunnya komitmen, pembengkakan biaya pelatihan dan pengembangan karyawan. Solusi yang Islami disini adalah kembali membangkitkan inner-motivation dalam diri karyawan, sehingga perencanaan karir mereka dapat sejalan dengan tujuan perusahaan.

D. Aktivitas Separasi
Separasi adalah tahap pemisahan antara tenaga kerja dengan perusahaan. Hal ini dapat terjadi karena usia pensiun, pindah kerja, diberhentikan ataupun meninggal dunia. Beberapa perusahaan lazim mengadakan wawancara akhir dengan mereka yang pindah kerja. Jadi separasi adalah satu hal yang tidak dapat dielakkan. Separasi yang terjadi bukan karena usia lanjut, perlakuan yang dibutuhkan tidak berbeda dengan perlakuan MSDM konvensional seperti surat berhenti, referensi untuk pekerjaan baru, wawancara akhir untuk mengetahui penyebab pengunduran diri dan lain sebagainya.
Dalam keluarga Islam, perceraian dibolehkan tetapi tidak disukai, hal ini bisa kita analogkan sebagai kondisi yang berlaku antara perusahaan dan karyawannya. Artinya Islam tidak menganut life-long-employment seperti korporasi Jepang dan bukan pula menganut ‘kutu loncat’ seperti korporasi Barat. Jadi, kapan perusahaan harus mengeluarkan karyawannya? Untuk ini praktis manajemen Jack dan Suzy Welch memberi saran melalui pengelompokan karyawan menjadi empat jenis.  Jenis pertama adalah karyawan dengan kinerja yang baik dan mencerminkan nilai perusahaan  yang baik. Dengan memiliki karyawan seperti ini tugas mengelola perusahaan menjadi ringan, manajemen akan bergerak maju. Jenis karyawan kedua adalah mereka yang hanya memiliki salah satu dari dua faktor di atas. Dengan mereka ini mengelola perusahaan tetap ringan karena tinggal memberitahukan apa yang menjadi tugas-tugas mereka. Jenis ketiga adalah karyawan yang menghasilkan kinerja yang lemah untuk perusahaan, namun masih tetap berperilaku sesuai dengan nilai-nilai perusahaan. Untuk mereka ini manajer perlu memberikan kesempatan ke dua bahkan ke tiga. Mereka kemungkinan memang bermasalah tetapi mereka bukan ‘biang’ masalah.
Jenis karyawan keempat adalah mereka yang memang menguntungkan perusahaan (dari sisi kinerja), tapi tidak memiliki setetespun nilai-nilai yang diharapkan perusahaan dari karyawannya. Mereka ada dimana-mana di tiap tingkatan organisasi. Mereka seringkali kejam, sombong dan misterius, sering terjadi mereka menjilat atasan tetapi menindas bawahan. Ciri mereka bisa jadi seperti orang yang dingin, kasar dan pendiam, atau bekerja tergantung mood. Karyawan seperti inilah yang harus dipisahkan dari unit usaha, mereka akan membuat iklim kerja yang tidak nyaman bagi karyawan lainnya. Separasi harus dilakukan terhadap karyawan yang seperti ini.
Usia pensiun adalah usia dimana separasi dilakukan dengan ‘mesra’ artinya kedua belah pihak telah optimal saling memberikan kontribusi, dan separasi yang dilakukan karena waktu. Secara normal untuk kondisi kita usia pensiun adalah 56 tahun, namun jika dibutuhkan mereka yang telah memasuki usia ini dapat tetap dipekerjakan dengan kontrak tahunan. Singapura yang kekurangan SDM meningkatkan usia pensiun menjadi 60 tahun. Untuk jenis-jenis pekerjaan tertentu usia pensiun dapat lebih muda (misalnya: tentara lapangan, atlet yang umumnya mengandalkan fisik) atau yang lebih tua (misalnya: dosen, peneliti yang umumnya mengandalkan pikiran).
Setelah separasi sebagian perusahaan tetap menjaga hubungan dengan mantan karyawan dalam bentuk pemberian jaminan hari tua atau sekedar menjaga silaturahim. Islam sangat menghargai orang tua karena itulah ibu dan bapak mendapatkan tempat yang khusus dalam ajaran agama. Layaknya perlakuan terhadap ibu dan bapak yang sudah tua, begitu pula Manajemen Sumber Daya Manusia; Rekayasa Islami memperlakukan pensiunannya. Banyak balas jasa yang dapat diberikan dan sesuai dengan kebutuhan usia lanjut, seperti asuransi hari tua dan asuransi kesehatan. Semuanya ini dapat dirancang dengan baik oleh manajer SDM sejak dari karyawan tadi masih aktif dalam perusahaan. Seperti telah diuraikan di muka dalam bagian pemeliharaan, latihan keterampilan untuk mereka yang akan memasuki masa pensiun adalah sesuatu yang bermanfaat, karena pasca pensiun sangat boleh jadi mereka ini dapat berusaha secara mandiri.
Perlu disadari sebenarnya, kekeliruan mendasar terhadap pemahaman SDM adalah pada asumsi bahwa manusia pada intinya adalah makhluk ekonomi (homo economicus), dan yang karenanya mementingkan diri sendiri. Islam tidak memandang manusia ‘seburuk’ ini, Islam menempatkan manusia sebagai makhluk termulia, sehingga pengelolaannya pun tidak dengan merendahkan derajatnya seperti asumsi teori X dari McGregor. Bagusnya McGregor tidak hanya keluar dengan teori X, melainkan juga dengan teori Y yang tampak lebih sesuai dengan kaedah Islam. Namun dibalik semua itu disadari bahwa kelakuan manusia memang tidak selalu sesuai dengan homo Islamicus, karena secara empirik, manusia malas dapat dijumpai dimana saja dan cukup banyak jumlahnya. Apakah perlakuan untuk ini harus seperti yang dianjurkan dalam teori X, tentu tidak demikian perlakuan yang Islami, untuk itu haruslah dikaji kepemimpinan dalam Islam yang diimplementasikan untuk kasus perusahaan.
Pengelompokkan manusia menjadi empat kelompok oleh Imam Ghazali dapat dijadikan acuan atau pedoman dalam memperlakukan Sumber Daya Manusia dalam perusahaan. Kelompok pertama adalah orang yang tahu bahwa dirinya tahu, maka ikutilah ia. Kelompok orang yang seperti ini tampaknya bisa dijadikan leader, jadi dalam rangka kaderisasi berikan orang-orang yang tergolong dalam kelompok ini kesempatan untuk menjadi ketua/koordinator/pimpinan kelompok agar ia berkembang dan pada waktunya nanti ia akan siap menjadi manajer. Kelompok kedua adalah orang yang tidak tahu bahwa dirinya tahu, maka ingatkanlah ia. Kelompok ini adalah orang-orang yang low-profile, yang tidak sadar bahwa ia memiliki kemampuan, jadi beri ia motivasi untuk maju dan mengembangkan potensi yang tidak disadarinya ini. Kelompok ketiga adalah orang yang tahu bahwa dirinya tidak tahu, maka ajarilah ia. Kelompok ini cukup menyadari posisi dan kekurangannya sehingga yang diperlukan adalah training yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Kelompok keempat adalah orang yang tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu, maka tinggalkanlah ia. Kebijakan yang paling tepat adalah jika dapat dikenali sejak awal orang seperti ini jangan diluluskan dalam seleksi, namun jika sudah terlanjur diterima, sebaiknya ditempatkan dalam posisi sedemikian rupa sehingga ketidaktahuannya tidak mengganggu pekerjaan secara keseluruhan dan tidak pula mempengaruhi iklim kerja.
Sekuen aktivitas MSDM antara manajemen konvensional dengan manajemen yang dikelola secara syari’ah tidak jauh berbeda, hanya saja dalam manajemen syari’ah, setiap sekuen ini para manajer harus sadar bahwa tanggung jawabnya tidak berakhir di perusahaan (Pemegang Saham) namun berlanjut pada Pemilik Semesta Alam. Kesadaran akan hal ini diharapkan akan memicunya untuk selalu berbuat adil dan memperlakukan karyawan sebagai mitra. Pada tahap pengadaan, acuan pada beberapa sifat Rasulullah SAW perlu dipertimbangkan, utamanya karena dua hal, pertama sifat-sifat beliau adalah cerminan dari insan kamil, dan kedua karena empat sifat beliau ini sudah melingkupi apa yang pakar masa kini menyebutnya sebagai IQ, EQ dan SQ yang sangat dibutuhkan dalam menjaring karyawan berkualitas.
Pada tahap pemeliharaan segala daya upaya diperlukan untuk tetap memegang asas adil karena “otak-atik” terhadap kemampuan, keterampilan, kecerdasan dan loyalitas karyawan semuanya berada disini. Keterampilan manajer dalam interpersonal skill sebagian besar berada dalam wilayah ini. Bagaimanapun begusnya SDM yang diperoleh dari tahap pengadaan, namun jika tidak dapat dipelihara ia tidak akan bermanfaat bagi perusahaan.
Akhirnya sesuai dengan perlakuan Islam terhadap orang tua, maka keryawan yang mengalami separasi karena pensiun harus diperlakukan dengan baik. Harus diingat, bahwa karena jasa mereka inilah perusahaan menjadi besar.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali, 1989, Etika Muslim diterjemahkan oleh Achmad Sonarto, bagian dari Ihya’Ulumuddin, Jakarta: Pustaka Amani.

Amin, A. Riawan, 2004, The Celestial Management, Jakarta: Bening Publishing.

At-Tamimi, Izzuddin Al-Khatib, 1992, Nilai Kerja dalam Islam, diterjemahkan dari Al-Amal Fil Islam, Pustaka Mantiq.

Cascio, Wayne F, 2003, Managing Human Resources, Productivity, Quality of Work Life, Profits, McGraw-Hill.

Dessler, Gary, 1997, Human Resources Management, 7th, ed.,, Prentice Hall.

Jusmaliani, 2005, Mencari Solusi Tingkat Upah Islami, dalam Masyhuri, ed, Teori Ekonomi dalam Islam, Kreasi Wacana.

Jusmaliani, 2005, Merubah Asumsi Homo Economicus menjadi Homo Islamicus dan  Implikasinya dalam Teori Ekonomi, Makalah dalam Muktamar dan Seminar Internasional Ekonomi Islam, Medan 18-19 September.

Kartawiria, Rajendra, 2004, Spiritualitas Bisnis, 5 Langkah Proaktif Meraih Sukses, Penerbit Hikmah.

Kertajaya, Hermawan dan Muhammad Syakir Sula, 2006, Syariah Marketing, Mizan.

Koys, Daniel J, 2001, Integrating Religious Principles and Human Resource Management Activities in teaching Business Ethic: 121-139, Netherlands Kluwer Academic Publishers. 

Riyadi, Ahimsa, 2005, Quranic Qoutient for a Lasting Success, Pustaka IIMan.

Robbins, Stephen P, 1996, Organizational Behavior, Concepts, Controversies, Applications, 7th, Ed., Prentice Hall International Editions.

Werther, Jr, WilliamB, and Keith Davis, 1996, Human Resources and Personnel Management, 5th, ed.,, McGraw Hill.

Zohar, Danah and Ian Marshall, 2005, Spritual Capital, Memberdayakan SQ di Dunia Bisnis, diterjemahkan dari, Zohar and Marshall, 2004; “Spritual Capital: Wealth We Can Live by Using Our Rational, Emotional and Spiritual Intelligence to Transform Ourselves and Corporate Culture”, Bloomsbury Publishing Plc, London), Mizan. 



Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. IDE,KRITIK, DAN PENCERAHAN - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger